Rabu, 13 April 2016

Surat Kecil Untuk Ibu

Bisakah jika sekarang ku bertanya kabarmu, ibu?
Selain doa yang masih bisa kupanjatkan untukmu.
Adakah kau bahagia?

Sedikit ruang yang kurasa sesak membuatku pun teringat dirimu. Masih jelas kuingat, ketika tatapmu tak seperti yang lalu biasa kulihat. Beberapa kali kita beradu pandang, dan di sana tampak jelas perbedaannya, dalam kelembutan bola matamu. Walaupun sampai kini aku tak pernah tahu makna tersirat yang sebenarnya. Hanya kurasakan begitu berbeda.

Maafkan atas segala kecewa yang mungkin sempat menghampirimu, atas apa yang telah menjadi takdir. Hanya berharap jika dirimu pun paham akan semua hal yang menjadi keputusan. Aku pun di sini tengah mencoba ikhlas... selalu mencoba, dan masih tetap mencoba, karena masih saja kadang sakit itu menyapaku tanpa permisi dan tanpa mengenal keadaanku.

Kau adalah ibu berhati lembut. Kau tuntun dan kau peluk anak-anakmu, yang tak kau lahirkan dari rahimmu. Kau selalu maafkan mereka, walau kadang mereka berucap dan berlaku atas apa yang tak pernah mereka mengerti, membuatmu sakit.

Keterbatasanmu tak pernah membuatmu lelah berjuang. Semoga keterbatasanmu pula yang menuntunmu dalam kebaikan.

Hanya sekian jengkal hari dalam rangkaian perkenalan kita, tak pernah mengerti seberapa jauh kita saling mengenal. Tak pernah paham pula seberapa jarak yang tercerna dalam ruang kita. Hanya aku merasakan ketulusanmu. Tak menginginkan sedikitpun balasan, hanya alasan klise bagi tiap orang tua, bahwa mereka pun menginginkan tempat berteduh di hari tuanya.

Syukur aku pernah mengenalmu, ibu berhati lembut. Walaupun, maafkan, dulu ku tak pernah mengerti arti bahasa tuturmu, arti tiap bahasa tubuhmu dalam setiap bercakap denganku. Tak pernah mengerti diriku arti kesegeraan tuturmu, arti semua keluh kesahmu padaku, tak pernah mengerti diri ini sampai pada akhirnya harus kudengar kabar terakhirmu, kabar yang menyadarkanku bahwa sapaan itu, bahwa tutur serta keluhmu itu menjadi yang terakhir yang bisa kudengar. Bahwa tatapan itu menjadi tatapan terakhir yang dapat kulihat.

Allah berkendak memanggilmu. Lebih pagi dari yang bisa orang pikirkan. Termasuk diriku. Mungkin mereka tak pernah mengerti mengapa. Namun aku hanya berharap, jika Allah memanggilmu lebih dulu karena cintaNya yang teramat besar untukmu. Allah tak menghendaki keburukan yang lebih lama untukmu. Allah mengasihimu, Ia memanggilmu pulang untuk beristirahat di sisiNya.

Kepergianmu memberi goresan cerita sendiri dalam hidupku. Kau tak pernah menjadi ibuku. Namun kepergianmu membuatku mengerti arti kehilangan orang tua. Yaaa.... menyadarkanku bahwa mereka berarti bagiku. Tentang keikhlasan serta ketulusan mereka menjalani hidup. Demi anak-anaknya. Melawan malu melawan lelah.

Adakah ku bisa bertanya sekali lagi? Bahagiakah kau di sana? Aku merindukanmu.... semoga Allah selalu mengasihimu, semoga keterbatasanmu menjadi kebaikan untukmu, Insyaa Allah...

Dariku yang selalu ingat akan tatapan terakhirmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar